Langkah Pemprov Lampung mengubah dua BUMD menjadi perseroan terbatas patut diapresiasi.
Namun, publik juga berhak menagih, apakah perubahan status ini sekadar kosmetik hukum, atau benar-benar akan memperbaiki kinerja dan pelayanan?
Sudah terlalu lama BUMD di banyak daerah menjadi “anak manja” APBD—hidup dari penyertaan modal tanpa menghasilkan deviden berarti.
Transformasi menjadi PT seharusnya menjadi momentum untuk mengakhiri ketergantungan itu, dengan mendorong profesionalisme, transparansi, dan tata kelola yang bersih.
Perubahan bentuk hukum hanya bermakna jika diikuti reformasi manajemen, audit terbuka, dan rekrutmen berbasis meritokrasi. Tanpa itu, BUMD hanya akan berganti nama tanpa berganti nasib.
DPRD pun tak boleh hanya menjadi stempel formal. Pengawasan harus ketat, terutama pada proses valuasi aset dan pembagian saham. Sebab, di balik jargon “efisiensi dan modernisasi,” selalu ada potensi penyusupan kepentingan.
Transformasi sejati bukan di akta pendirian, tapi di cara kerja. Lampung butuh BUMD yang berani bersaing di pasar, bukan sekadar bertahan dengan subsidi pemerintah. (***)