Belakangan ini publik dikejutkan oleh kabar penggunaan dana pokok pikiran (pokir) DPRD untuk memberangkatkan warga menjalankan ibadah umroh.
Lebih mengejutkan lagi, seorang pejabat Kesra dengan enteng menyebut bahwa program tersebut “sesuai aturan.” Pernyataan ini tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya.
Mari kita tegas: tidak ada satu pun regulasi negara ini—baik undang-undang, peraturan menteri, maupun pedoman APBD—yang membolehkan penggunaan uang rakyat untuk membiayai ibadah pribadi.
Pokir DPRD hanyalah usulan program pembangunan yang harus bermuara pada kepentingan publik: jalan, sekolah, puskesmas, pertanian, hingga layanan sosial.
Mengalihkannya untuk perjalanan umroh jelas penyimpangan. Menyebut hal ini “sesuai aturan” tanpa dasar hukum tertulis adalah bentuk pembodohan publik.
Klaim tersebut bukan sekadar salah kaprah, melainkan manipulasi retorika untuk menutupi praktik yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Ada tiga dampak serius dari penyalahgunaan ini:
• Merusak hukum – APBD tidak mengenal belanja ibadah pribadi.
• Merusak keadilan – hanya segelintir orang yang beruntung, sementara mayoritas warga masih berjuang dengan kebutuhan dasar.
• Merusak kepercayaan publik – pejabat publik seharusnya bicara dengan dokumen, bukan dengan alasan kosong.
Ibadah umroh adalah suci, tetapi menjadikannya program politik berbasis APBD adalah bentuk komodifikasi ibadah. Kalau wakil rakyat atau pejabat benar-benar ingin memberangkatkan warga, gunakanlah dana pribadi, CSR, atau donasi lembaga keagamaan.
Jangan sekali-kali menjual kesalehan dengan uang rakyat. Publik berhak tahu aturan yang dimaksud. Jika tak bisa ditunjukkan, maka jelas ini penyimpangan.
Aparat pengawas dan penegak hukum wajib turun tangan. Sebab dana pokir adalah uang negara, bukan dompet pribadi para pejabat. Umroh boleh suci, tapi cara mencapainya tidak boleh kotor. (***)