DPRD Kota Bandar Lampung mesti menjelaskan kepada publik, mengapa mereka meloloskan anggaran Rp 60 miliar untuk pembangunan gedung Kejati Lampung.
Apa urgensinya, sehingga pembangunan kantor lembaga vertikal justru dianggap lebih prioritas dibanding membenahi infrastruktur jalan dan drainase yang saban musim hujan membuat kota ini jadi langganan banjir?
Lebih ironis lagi, keputusan ini diambil ketika kondisi keuangan Pemkot Bandar Lampung sedang tidak baik-baik saja — bahkan defisit.
Bukankah para wakil rakyat di gedung DPRD sejatinya berdiri di atas mandat konstituen? Mengapa kebijakan yang jelas-jelas tidak pro-rakyat ini bisa melenggang tanpa ada penolakan berarti?
Pertanyaan yang menggelisahkan publik, apakah di gedung DPRD sudah tidak ada lagi yang memiliki hati nurani keberpihakan kepada rakyat?
Bagaimana mungkin, ketika ada peluang alokasi anggaran yang mestinya bisa “menyambung nafas sementara” masyarakat, justru dibiarkan beralih untuk urusan lembaga lain yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat?
Kebijakan ini tidak hanya soal angka Rp 60 miliar, melainkan soal sikap, berpihak kepada siapa DPRD Bandar Lampung?
Rakyat yang setiap hari berjuang di tengah jalan rusak, banjir, dan pelayanan dasar yang serba terbatas, atau kepada proyek mercusuar untuk institusi vertikal yang secara struktural bukan kewenangan pemda?
Publik berhak mendapatkan jawaban, bukan alasan klise. Karena pada akhirnya, sejarah akan mencatat, siapa yang benar-benar membela rakyat, dan siapa yang memilih diam ketika kepentingan rakyat dikorbankan. (***)