Inflasi Lampung dan Ilusi Kemakmuran

Oleh: Dapur Redaksi KIPRAH.CO.ID

Provinsi Lampung kembali masuk dalam daftar provinsi dengan inflasi terendah nasional, yakni sebesar 1,17% (yoy) per Oktober 2025, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Capaian ini menempatkan Lampung di posisi keempat secara nasional — sebuah prestasi yang, di atas kertas, patut diapresiasi.

Namun, di balik data yang membanggakan itu, ada pertanyaan yang menggelitik nurani publik: apakah inflasi rendah sudah benar-benar terasa di meja makan rakyat Lampung?

Menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, komoditas utama penyumbang inflasi nasional masih didominasi oleh cabai merah, beras, bawang merah, daging ayam ras, dan emas perhiasan.

Sementara itu, di Lampung, inflasi justru menurun karena turunnya harga beras dan bawang merah — dua komoditas yang menjadi tulang punggung ekonomi rumah tangga petani.
Kabar baik bagi statistik, tapi tidak selalu baik bagi petani.

Ketua DPD IMM Lampung, Jefri Ramdani, menilai bahwa keberhasilan menekan inflasi harus dibaca secara kritis.

“Inflasi rendah itu bagus, tapi jangan sampai dicapai dengan menekan harga produk petani. Karena di sisi lain, biaya hidup mereka tetap tinggi. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa keseimbangan antara kepentingan konsumen dan produsen tetap terjaga,” tegas Jefri, Sabtu (12/10/2025).

IMM Lampung sebelumnya juga mendorong Pemprov untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Harga Acuan Pembelian (HAP) pangan lokal, terutama ubi kayu (singkong).

Menurut mereka, tanpa instrumen hukum yang melindungi harga pangan lokal, inflasi rendah bisa menjadi “stabilitas semu” yang menekan sektor produksi rakyat.

“Kita tidak boleh hanya membanggakan inflasi rendah kalau petani singkong, petani cabai, dan pedagang kecil tetap kesulitan menjual hasilnya dengan harga wajar. Itu bukan keberhasilan ekonomi, tapi alarm ketimpangan baru,” lanjut Jefri.

Pandangan serupa datang dari pengamat ekonomi daerah, Bani Ispriyanto, yang menilai bahwa pengendalian inflasi seharusnya diiringi dengan penguatan struktur ekonomi lokal.

“Lampung masih terlalu bergantung pada sektor primer tanpa dukungan distribusi dan hilirisasi yang kuat. Ketika harga bahan pangan turun, efeknya langsung terasa di pendapatan petani, tapi tidak otomatis meningkatkan daya beli masyarakat di kota,” jelas Bani.

Ia menambahkan bahwa inflasi rendah tanpa perbaikan daya beli sama saja seperti “menyapu debu di atas karpet” — tampak bersih dari luar, tetapi persoalan dasarnya tetap tertimbun di bawah.

Fakta bahwa Lampung mampu menjaga inflasi di bawah target nasional memang layak diapresiasi. Namun, keberhasilan sejati bukan terletak pada rendahnya inflasi, melainkan meratanya kesejahteraan.

Jika petani kehilangan untung, pedagang kecil menjerit karena sepi pembeli, dan masyarakat berpendapatan rendah masih menunda belanja pokok, maka inflasi rendah bukanlah kemenangan — melainkan tanda lemahnya sirkulasi ekonomi rakyat.

Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Lampung membaca angka bukan hanya dengan kebanggaan, tapi dengan kepekaan sosial. Karena ekonomi yang sehat bukan yang membuat grafik cantik di layar rapat, tetapi yang membuat rakyat tenang di dapur dan pasar. (***)