Kopi Lampung Enak, Tapi Siapa yang Kaya?

Oleh: Dapur Redaksi KIPRAH.CO.ID

Lampung Fest 2025 menandai semangat baru pembangunan ekonomi kreatif di Bumi Ruwa Jurai. Di bawah tema “Coffee and Tourism”, festival ini mencoba mensinergikan dua kekuatan besar Lampung—kopi dan pariwisata—dalam satu wadah promosi dan kebanggaan daerah.

Namun, di balik sorot lampu panggung, dentuman musik, dan aroma kopi yang menyeruak di PKOR Way Halim, ada pertanyaan yang lebih substantif, apakah kemeriahan ini benar-benar menggerakkan ekonomi rakyat, atau sekadar menjadi euforia sesaat?

Hilirisasi: Ujian Keberanian

Gubernur Rahmat Mirzani Djausal sudah menegaskan arah barunya: hilirisasi. Data menyebutkan, lebih dari 70 persen ekspor kopi nasional dari Lampung masih dalam bentuk biji mentah (green bean). Angka ini menggambarkan realitas yang ironis—Lampung menghasilkan kopi berkualitas dunia, tetapi nilai tambahnya dinikmati pihak lain.

Selama kita masih menjual kopi mentah, yang kita jual sejatinya bukan cita rasa, melainkan keringat petani. Hilirisasi bukan sekadar istilah ekonomi, tapi ujian keberanian: berani membangun industri di daerah sendiri, berani menumbuhkan merek lokal, dan berani keluar dari ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Lampung memiliki semua syarat untuk melakukannya. Tanah vulkanik yang subur, sumber daya manusia kreatif, hingga ekosistem UMKM yang tumbuh pesat.

Tapi keberanian untuk berpindah dari komoditas ke brand membutuhkan keberlanjutan kebijakan dan proteksi terhadap industri kecil. Tanpa keberpihakan konkret, jargon hilirisasi hanya akan menjadi kalimat pembuka dalam sambutan pejabat.

Festival Boleh Usai, Gerakan Harus Menyala

Lampung Fest 2025 memang layak diapresiasi karena diselenggarakan tanpa dana APBD. Inisiatif ini membuktikan bahwa kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, komunitas, pelaku ekonomi kreatif, dan swasta—bisa menjadi model pembangunan baru. Namun, pekerjaan sejati justru dimulai setelah festival berakhir.

Kita tidak membutuhkan festival yang hanya gemerlap di atas panggung. Yang dibutuhkan adalah ekosistem pasca-festival: jejaring pelatihan, inkubasi bisnis, akses permodalan, dan dukungan pasar digital bagi pelaku UMKM kopi dan pariwisata. Karena pada akhirnya, yang menghidupi ekonomi daerah bukanlah seremoni, melainkan kontinuitas.

Coffee and Tourism bukan sekadar tema — ia seharusnya menjadi gerakan. Gerakan yang menjembatani petani dengan kafe modern, menghubungkan wisata alam dengan pengalaman kopi khas Lampung, serta memposisikan pariwisata sebagai ruang promosi yang hidup bagi produk daerah.

Bayangkan jika setiap pengunjung wisata Lampung membawa pulang kopi lokal bukan sebagai oleh-oleh, tapi sebagai kebiasaan. Saat itulah ekonomi kreatif Lampung menemukan bentuk sejatinya: berakar pada budaya lokal, tapi bernilai global.

Dari Panggung ke Produksi

Kritik utama terhadap banyak agenda daerah adalah kecenderungan berhenti di seremonial. Kita sibuk menggelar acara, tetapi abai memastikan dampak jangka panjangnya. Lampung Fest 2025 berpotensi menjadi pengecualian — jika momentum ini benar-benar ditindaklanjuti dengan strategi hilirisasi konkret.

Kita perlu pabrik roasting di kabupaten penghasil kopi. Kita perlu koperasi digital yang bisa menghubungkan petani dengan pasar langsung. Kita perlu festival yang tidak hanya menghibur, tapi juga mencetak pengusaha baru. Dengan begitu, Lampung Fest akan menjadi gerakan ekonomi rakyat, bukan sekadar ajang selfie musiman.

Lampung memiliki dua kekuatan besar yang jarang dimiliki daerah lain: tanah yang subur dan masyarakat yang kreatif. Keduanya adalah fondasi untuk membangun ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tapi juga berdaulat.

Lampung Fest 2025 sudah membuka pintu menuju arah baru: ekonomi berbasis kreativitas dan kolaborasi. Kini tinggal satu pertanyaan tersisa — apakah kita berani melangkah lebih jauh? Karena festival boleh selesai, tapi perjuangan hilirisasi baru saja dimulai.

Dan jika Lampung ingin dikenal bukan hanya sebagai penghasil kopi, tapi sebagai pencipta tren, maka panggung berikutnya harus lebih besar: panggung industri, panggung inovasi, dan panggung kemandirian ekonomi. (***)