Prioritas Terbalik di Kota Defisit, Rp 60 Miliar Salah Alamat

Oleh: RECI PURWANA

Pemerintah Kota Bandarlampung kembali membuat publik terheran-heran. Di tengah kondisi keuangan daerah yang compang-camping, defisit ratusan miliar rupiah selama tiga tahun berturut-turut dan utang yang menumpuk-justru diputuskan untuk menggelontorkan Rp60 miliar demi membangun gedung baru Kejaksaan Tinggi Lampung.

Pertanyaan mendasarnya sederhana, apakah gedung baru Kejati memang kebutuhan paling mendesak rakyat Bandarlampung saat ini?

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Lampung jelas-jelas menunjukkan, Pemkot Bandarlampung mengalami ketidakcukupan dana belanja daerah hingga ratusan miliar.

Artinya, pemerintah kota sudah gagal mengelola prioritas dasar belanja. Alih-alih memperbaiki layanan publik yang langsung dirasakan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dasar-anggaran justru dipakai untuk sesuatu yang jauh dari kepentingan warga sehari-hari.

Pembangunan gedung untuk institusi penegak hukum bukan hal baru di Bandarlampung. Dari Herman HN hingga Eva Dwiana, pola ini seperti diulang-ulang. Membangun “monumen” bagi aparat hukum. Tidak sedikit yang menilai, ini bukan sekadar dukungan moral, melainkan cara halus “mengamankan diri” dari potensi jerat hukum.

Di sinilah problem etika publik muncul. Ketika keuangan daerah defisit, utang menumpuk, dan belanja publik terbengkalai, apakah pantas pejabat kota sibuk membangun gedung Rp60 miliar yang bahkan bukan prioritas utama masyarakat?

Rakyat Menanggung Beban

Pada akhirnya, rakyat yang membayar harga. Jalan berlubang tetap berlubang, pelayanan dasar tetap kedodoran, dan kebutuhan publik tetap ditunda. Sementara itu, institusi penegak hukum menikmati fasilitas baru yang megah, dibangun dari uang rakyat yang sebenarnya sedang seret.

Ini bukan sekadar soal teknis anggaran, melainkan soal moralitas dan keberpihakan. Pemerintah kota seolah menegaskan, lebih penting menjaga “hubungan baik” dengan aparat hukum ketimbang menjawab problem nyata warganya sendiri.

Opini ini bukan menolak keberadaan gedung representatif bagi Kejati Lampung. Namun, di tengah kondisi keuangan defisit dan belanja publik terbengkalai, keputusan tersebut jelas salah arah, salah momentum, dan salah prioritas.

Jika pemerintah daerah masih mengulangi pola belanja seremonial dan politis seperti ini, jangan heran jika publik semakin kehilangan kepercayaan.

Dan kehilangan kepercayaan rakyat adalah defisit terbesar yang tidak pernah bisa ditutup dengan APBD berapa pun nilainya. (***)