Pemerintah Provinsi Lampung bangga mengumumkan hadirnya SMA Terbuka sebagai solusi menekan angka putus sekolah.
Gratis, katanya. Bisa belajar di mana saja, katanya. Indah terdengar di panggung seremoni. Tapi mari bertanya: apakah ini benar solusi, atau sekadar proyek pencitraan dengan papan nama baru?
Anak-anak yang putus sekolah tidak hanya terhalang biaya. Mereka berhadapan dengan perut yang lapar, jarak yang jauh, hingga keluarga yang menuntut mereka bekerja.
Kalau semua itu tidak disentuh, SMA Terbuka hanyalah ruang kosong: ada pintunya, tapi tak ada yang betah di dalamnya.
Sudah terlalu sering kita melihat program pendidikan dideklarasikan dengan megah, lalu mati perlahan karena minim pendampingan.
Pemerintah gemar berfoto dengan jargon “tidak ada anak tertinggal”, tapi di kampung-kampung, anak-anak masih menggendong cangkul lebih sering daripada buku.
Jika SMA Terbuka hanya berhenti pada seremoni dan piagam, lebih baik tidak usah diluncurkan.
Sebab rakyat sudah bosan dengan program yang rajin dipublikasikan tapi malas dijalankan. Pendidikan bukan soal nama, tapi soal nasib. (***)