Udang di Balik Rempeyek, Drama Hibah Rp 60 Miliar

Oleh: RECI PURWANA

(Lampu sorot ke meja panjang. Kursi empuk, mikrofon, tumpukan berkas. Para anggota DPRD duduk dengan wajah serius tapi mata gelisah. Walikota berdiri di ujung meja.)

Walikota (penuh percaya diri):
“Rp 60 miliar untuk gedung Kejati. Demi penegakan hukum, demi wibawa kota. Bagaimana, Bapak-Ibu?”

Ketua DPRD (menghela napas, lalu senyum sinis):
“Hmm, rakyat mungkin protes. Tapi… kalau ada jaminan, semua bisa cair.”
(Walikota mendekat, berbisik sambil menepuk meja.)

Walikota:
“Sudah disiapkan. Tahun depan, jatah umroh ditambah. Semua pimpinan dapat bonus perjalanan.”
(Seisi ruangan mendadak riuh dengan tawa kecil. Palu diketuk dengan mantap.)

Ketua DPRD:
“Setujuuuuu!”
(Lampu meredup. Narator masuk.)
Narator:
“Dan begitulah, keputusan besar lahir bukan dari suara rakyat, melainkan dari bisikan ‘jatah umroh lebih’. Di balik kata pembangunan, terselip udang jumbo di rempeyek kekuasaan.”

Warung Kopi Slemon
(Suasana warung ramai, aroma kopi hitam. Din Bacut duduk dengan gelas kopi, sambil ngoceh ke pengunjung.)

Din Bacut:
“Hahaha! Pantesan cepat setuju! Ternyata bukan demi rakyat, tapi demi tiket umroh. Rp 60 miliar itu cuma topeng. Aslinya? Rempeyek berisi udang raksasa!”

Pengunjung 1 (menyeringai):
“Kalau begitu, DPRD singkatannya Dewan Perwakilan Rempeyek Dompet, ya?”

Pengunjung 2 (menepuk meja):
“Betul! Rakyat cuma dapat serpihan kacang, mereka lahap udangnya.”
(Semua tertawa getir. Lampu redup.)

Jalanan Kota
(Rakyat kecil muncul. Ibu pasar menjinjing keranjang, tukang ojek menuntun motor, anak sekolah melompat menghindari genangan air.)

Ibu Pasar (mengeluh):
“Rp 60 miliar buat gedung, tapi jalan masih bolong. Dompet mereka yang berteriak, kenapa dompet kita yang makin kosong?”

Tukang Ojek:
“Wakil rakyat? Jangan bercanda. Lebih cocok disebut wakil gedung.”

Anak Sekolah:
“Bu, sekolah kami masih bocor atapnya. Tapi katanya, gedung baru Kejati megah sekali.”
(Lampu sorot ke wajah rakyat yang kecewa. Musik sendu mengiringi.)

Penutup
(Semua tokoh masuk ke panggung. Walikota dan DPRD tersenyum lebar, memegang koper. Rakyat berdiri di sisi panggung dengan wajah muram. Din Bacut berdiri di tengah sambil mengangkat gelas kopi.)

Narator (berbicara ke penonton):
“Lihatlah, inilah drama di panggung kota. Hibah Rp 60 miliar bukan sekadar anggaran, tapi lakon tawar-menawar. Gedung Kejati akan berdiri megah, tapi di dalam hati rakyat hanya ada satu pertanyaan: hukum yang ditegakkan, untuk siapa? Rakyat… atau dompet para wakil rakyat?”
(Lampu padam. Tirai turun. Tepuk tangan bercampur desahan kecewa.) (***)