Penutupan Lampung Begawi 2025 bukan sekadar akhir dari sebuah pameran dagang dan promosi produk lokal. Ia adalah momentum penting untuk menakar keseriusan pemerintah daerah dalam menata ulang arah ekonomi Lampung—dari ekonomi berbasis komoditas mentah menuju ekonomi bernilai tambah.
Pernyataan Gubernur Rahmat Mirzani Djausal tentang perlunya regulasi dan kebijakan yang berpihak pada UMKM adalah langkah strategis, namun komitmen saja tidak cukup tanpa keberanian mengeksekusi. Sebab, masalah utama UMKM bukan semata kurang modal, tetapi kurangnya keberpihakan nyata dalam struktur kebijakan.
Sudah terlalu lama pelaku usaha kecil menjadi slogan pembangunan, bukan subjek ekonomi yang benar-benar diperkuat. UMKM sering diundang ke panggung pameran, tapi tidak diberi ruang di rak-rak distribusi besar. Mereka difoto bersama pejabat, namun sulit mendapat akses ke kredit lunak, bahan baku murah, dan pasar yang pasti.
Jika Lampung ingin menembus kebuntuan nilai tambah, maka yang dibutuhkan bukan sekadar pelatihan dan bazar, melainkan reformasi tata niaga yang melindungi pelaku lokal dari cengkeraman rantai pasok besar. Pemerintah daerah harus memastikan setiap kebijakan—dari pariwisata, perdagangan, hingga perbankan—bermuara pada satu hal: uang wisatawan dan investor harus berputar di Lampung, bukan mengalir keluar.
Lampung tidak kekurangan potensi, tetapi kekurangan keberanian untuk memotong mata rantai ekonomi yang timpang. UMKM bukan pelengkap ekonomi, mereka adalah akar ekonomi rakyat. Dan akar, jika tak dirawat, tak akan pernah menumbuhkan pohon yang kokoh. (***)