79 Tahun Bhayangkara, Semakin Humanis

Oleh: Togi Tusmigo

KIPRAH.CO.ID– Di balik seragam cokelat yang gagah, di balik lencana yang berkilau, sesungguhnya ada manusia biasa.

Ia mungkin ayah dari seorang anak perempuan kecil yang selalu menunggunya pulang. Ia bisa jadi seorang anak sulung yang menanggung harapan ibu renta di kampung. Ia bisa siapa saja—yang berani memilih jalan hidup tak biasa: menjaga, melindungi, dan mengayomi.

79 tahun sudah Kepolisian Republik Indonesia mengabdi untuk negeri. Dari era penjajahan, kemerdekaan, hingga zaman digital yang serba cepat dan keras, Polri tetap berdiri.

Terkadang goyah, seringkali diuji, namun terus melangkah dengan satu tujuan: memberikan rasa aman dan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Namun, hari ini mari kita berhenti sejenak. Menanggalkan sejenak hiruk-pikuk seremoni, menunduk dalam keheningan, dan bertanya: siapa sejatinya polisi dalam hidup kita?

Bagi seorang ibu yang kehilangan anaknya dalam bencana, polisi adalah pelipur lara yang mengangkat puing-puing dengan tangan kosong.

Bagi seorang pedagang kecil di pasar, polisi adalah penjaga yang membuat mereka merasa cukup aman untuk berjualan.

Bagi seorang anak jalanan yang tersesat, polisi bisa menjadi orang pertama yang menuntunnya pulang.

Dalam hidup yang sering keras ini, polisi bukan hanya penjaga ketertiban. Mereka bisa menjadi bahu untuk bersandar, telinga yang mau mendengar, dan tangan yang mau mengangkat yang jatuh.

Tentu, kita tak menutup mata. Ada noda di masa lalu. Ada kisah-kisah kelam yang masih membekas di benak sebagian masyarakat.

Tapi bukankah setiap rumah tangga pun punya luka? Dan seperti keluarga yang baik, kita memilih untuk memperbaiki, bukan menyingkirkan. Karena Polri bukan sekadar institusi—ia adalah bagian dari rumah besar bernama Indonesia.

Kita ingin polisi yang tidak hanya kuat, tapi juga bijaksana. Yang tidak hanya disiplin, tapi juga empatik. Yang hadir bukan hanya saat demo atau patroli malam, tapi juga saat warga butuh didengar.

Saat ibu-ibu butuh pendamping, saat anak muda butuh motivasi, saat warga desa butuh teladan.

Polisi yang mengajar anak-anak membaca di pelosok. Polisi yang menanam jagung bersama petani. Polisi yang menolong korban banjir tanpa kamera menyala. Polisi yang tahu kapan harus tegas, tapi juga tahu kapan harus mendekap.

Itulah harapan kita. Harapan bangsa kepada Bhayangkara bangsa.

HUT ke-79 bukan sekadar perayaan. Ini adalah momen refleksi. Momen untuk mengingat bahwa kekuatan sejati polisi bukan pada senjata atau kendaraan, tapi pada kepercayaan rakyat. Dan kepercayaan itu tidak dibeli.

Ia dibangun. Hari demi hari. Dengan kejujuran. Dengan kerja keras. Dengan kesediaan hadir dalam suka dan duka rakyat.

Hari ini, mari kita ucapkan terima kasih. Bukan hanya atas keberanian, tapi juga atas ketulusan.

Terima kasih atas kerja tanpa pamrih menjaga perbatasan. Terima kasih telah menjadi sahabat anak-anak yang kehilangan arah. Terima kasih karena terus berusaha lebih baik, meski kadang belum sempurna.

Dan kepada para Bhayangkara sejati—yang memilih menjadi manusia biasa yang melakukan hal luar biasa setiap hari—bangsa ini melihatmu. Menghargaimu. Mendukungmu.

Teruslah menjadi pelindung, tapi juga pengayom. Teruslah menjadi penjaga, tapi juga saudara. Teruslah menjadi polisi, tapi juga manusia.

Dirgahayu Kepolisian Negara Republik Indonesia ke-79. Bekerjalah dengan hati.
Karena dalam seragam itu, kami ingin melihat cinta. Untuk Indonesia. (*)