KIPRAH.CO.ID– Kebijakan Gubernur Arinal Djunaidi menghentikan pembangunan teropong bintang atau Lampung Astronomical Observatory (LAO), sangat kontradiksi dengan regulasi yang membolehkan pemanfatan Taman Hutan Rakyat (Tahura) untuk penelitian dan pendidikan.
Setidaknya ada tiga regulasi yang membolehkan Tahura/hutan konservasi dimanfaatkan untuk pendidikan dan penelitian. Ini sangat berbeda dengan pernyataan Gubernur Lampung saat diskusi publik dengan judul Membangun Sinergi Dalam Upaya Konservasi Sumber Daya Hutan dan Lingkungan di Universitas Bandar Lampung (UBL), Rabu (22/1/2020) lalu.
Dalam diskusi itu, Gubernur Arinal menyetop pembangunan teropong bintang itu karena dibangun di lahan konservasi yakni di Register 19, Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rachman, Gunung Betung, Pesawaran.
“Teropong Bintang tidak dilanjutkan, kita tutup karena berada di lahan konservasi. Haram hukumnya dilakukan pembangunan di kawasan konservasi, jadi tidak dilanjutkan,” ujar Arinal disela-sela kegiatan diskusi publik di UBL, Rabu (22/1/2020) lalu.
Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut meskipun Tahura Wan Abdul Rahman masuk dalam kawasan konservasi, ada zona yang bisa dimanfatkan.
Merujuk pada Permen LHK nomor 76 tahun 2015 tentang Tahura, terdiri dari beberapa zona/blok, zona inti, zona rimba dan zona pemanfatan.
“Merujuk pada permen LHK tersebut, tidak sepenuhnya kawasan konservasi dilarang untuk adanya perubahan. Dikawasan konservasi itu ada zona yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang penelitian, pendidikan, dan itu diperbolehkan dalam regulasi,” katanya Direktur Walhi Lampung, Irfan Tri Musri, Senin (27/1/2020).
Selain permen itu, pengunaan hutan konservasi dibangun sarana dan prasarana juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam. Selain itu ada juga undang- undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.
“Sangat disayangkan jika pembangunan tropong bintang yang digadang terbaik se Asia Tengara yang telah memakan anggaran miliaran rupiah dihentikan. Jika bicara terganjal soal perizinan, alangkah baiknya gubernur tetap melanjutkan dan menyelsaikan izin adminsitrasi yang belum terselesaikan,” kata dia.
Sementara itu, Ofyar Tamin Rektor Institut Teknologi Sumatera (Itera) menyebut, dalam proses pembangunan Teropong Bintang ini, Itera, ITB dan Balidbangda Lampung sudah melakukan kajian yang mendalam.
Hasilnya lokasi teropong bintang Itera di Gunung Betung Pesawaran merupakan yang terbaik karena bebas dari polusi cahaya. Teropong bintang Itera berada di ketinggian 1300 meter diatas permukaan laut.
“Lokasinya sangat strategis. sebelah puncak menghadap ke selat sunda sementara puncak gunung betung menjadi penghambat cahaya yang berasal dari Kota Bandarlampung,” kata dia.
Dari catatan yang dikutip dari suarapedia, Observatorium ini sedianya diberi nama Observatorium Astronomi Itera Lampung (OAIL). Bangunan ini berada pada areal seluas 50 hektare. Dalam pembangunannya OAIL yang dibangun atas kerja sama Pemprov Lampung, ITB, dan Itera itu targetnya memiliki 24 teleskop, termasuk teleskop level medium untuk pengamatan dan penelitian.
Observatorium ini juga akan dilengkapi sejumlah alat canggih lainnya. Selain dengan itera dan ITB, penandatanganan MoU mengenai pembangunan OAIL juga dilakukan, National Astronomical Research Institute of Thailand (NARIT) dan Universitas Mandalay, Myanmar. Disaksiakan oleh Disaksikan oleh Osamu Hasimoto dari Gunma Astronomical Observatory Japan, dan para delegasi Negara tetangga anggota Southeast Asia Astronomy Network (SEAAN) puluhan miliar anggaran sudah digelontorkan untuk proyek prestisius ini.
Pada 2017 saja dianggarkan Rp20 miliar untuk membangun jalan 7 km dengan lebar 30 meter. Lalu, pada 2018 dianggarkan lagi Rp20 miliar untuk jalan dan jembatan. Jika ditotal dengan anggaran pembangunan gedung, keseluruhan mencapai Rp65 miliar. (*)