Menjadi pemimpin, baik tingkat Pekon (Desa), Kecamatan, Dinas, Badan, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Negara, haruslah berhati-hati dalam mengambil keputusan. Selain dapat memantik perpecahan dan permusuhan, bisa juga menjerat dan menggali lubang kuburan sendiri.
Bukankah menjadi pemimpin harus melindungi dan mengayomi? Bukan sebaliknya, membuat keputusan kontroversi yang berakibat sang pemimpin dibenci dan dicaci, bahkan dibui karena tak berhati-hati.
Mengapa dibenci dan dicaci, ya disebabkan perhitungan yang salah, mencoba peruntungan dengan mengambil keputusan tanpa musyawarah yang menimbulkan kekecewaan teramat dalam dan ciptakan amarah.
Di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, misalnya. Beberapa pimpinan membuat keputusan yang aneh, entah ingin cari sensasi, ber eksperimen, atau karena di dalam jiwa sang pemimpin tertanam sifat egois, tinggi hati, atau karena merasa dirinya paling pintar dan paling benar, sehingga tidak ada lagi rasa saling menghargai.
Entahlah, yang jelas akibat keputusan itu reaksi masyarakat di dunia nyata dan dunia maya beragam, ada yang memuji,ada yang mencaci dan ada pula yang terheran-heran, lalu diam dan tertawa.
Padahal kalau dikaji lebih mendalam, pemimpin yang baik tidak akan mengambil keputusan ‘bunuh diri’. Akan tetapi sebaliknya, pemimpin yang merasa dirinya paling hebat, tinggi hati, dan besar kepala, balak pengkhasa (bahasa daerah Pesisir Barat), ia buat keputusan mencoba-coba atau menguji gaya kepemimpinan yang konyol, akibatnya akan konyol pula.
Ingat ucapan Prof.J.E Sahetapy., “Kesombongan Berarti Kejatuhan Sudah Dekat”, ungkapan itu disampaikan di acara Indonesia Lawyer Club’ (ILC) 5 Juni 2012. (*)