KIPRAH.CO.ID– Ketua Kajian Keritis Kebijakan Publik dan Pembangunan (K3PP) Kabupaten Tulangbawang Barat, Ahmad Basri menilai alasan menjadi kepala desa/tiyuh, merupakan sebuah loyalitas pengabdian sebagai seorang warga negara untuk mensejahterakan kehidupan rakyat masyarakat, tentu bukan sebuah cerita yang menarik untuk didengar telinga yang sehat dan normal saat ini.
Menurut Ahmad Basri, sejak pemerintah pusat memberi “gizi” sehat bagi program pembangunan Desa /Tiyuh seluruh Indonesia dengan alokasi anggaran yang fantastik miliaran pertahunnya melalui APBD/APBN (DD/ADD), orang dengan berbagai macam karekter prilaku beramai-ramai berebut ingin menjadi kepala desa/tiyuh.
“Ada yang berlatar belakang simbol keagamaan sampai bergaya preman pasar, dan pengangguran intelektual bergelar sarjanapun ikut beradu nasib ingin menjadi kepala desa/tiyuh,” tutur Abbas Karta–sapaan akrab– Ahmad Basri, Kamis (16/6/2022).
Dia juga menerangkan apa yang terjadi adalah prilaku money politik -politik uang dalam setiap pilkades/pilkati untuk mencapai sebuah hasrat “nafsu” kekuasaan sebagai kepala desa/tiyuh. Angka ratusan juta hingga miliaran harus disiapkan untuk seorang calon, namun realitas empiric belum tentu terpilih. Apalagi dengan adanya peraturan terbaru pada UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa/Tiyuh kepala desa/tiyuh bisa 3 periode kekuasaan (18 Tahun).
Artinya, jika seorang kepala Desa/Tiyuh bernasib baik hingga 3 periode kekuasaan 18 tahun lamanya. Maka Dana Desa yang di kelolanya, bisa jadi akan mencapai angka Rp 18 miliar. Jika sial seperti yang terjadi dikasus kepala Desa/Tiyuh Panaragan Tubaba baru 1 tahun kurang lebih sudah dijebloskan kepenjara oleh Kejaksaan Negeri Tuba.
“Jika kita simak lebih dalam lagi tentang program pembinaan bagi kepala Desa/Tiyuh dengan mengatas namakan Bimtek (Bimbingan Teknis) atau pada bimbingan masalah penyuluhan hukum sepertinya merupakan menu makanan sehari – hari yang kita dengar,” imbuhnya.
Menurutnya, ada Bimtek dari DPMD/Ti sebagai program kerjanya dan juga ada dari Kabag Hukum – Inspektorat ikut didalamnya. Secara normatif idealisme itu penting bagi para kepala desa/tiyuh agar tidak menyimpang dari aturan teknis dan hukum ketika menjalankan program ADD/DD.
“Tapi apakah semua itu memberikan kesadaran moral untuk tidak melakukan penyimpangan prilaku korupsi. Kecenderungan dengan banyaknya kata nama Bimtek ini dan itu untuk para kepala desa/ tiyuh maka disitulah sesungguhnya lahirnya prilaku korupsi terselubung yang mudah terjadi diantara para (oknum) di dalamnya,” urainya.
Hal tersebut menurut Ahmad Basri, semua kegiatan Bimtek pada akhirnya dibebankan pada keuangan desa (ADD/DD). Bimtek bisa jadi melahirkan “kolusi” model baru untuk mengakali dana desa (ADD/DD). Dan semua tugas penegak hukum yang mampu membongkar semua ini.
“Bisa jadi pula dengan mengatas namakan Bimtek merupakan alat pemerasan terselubung oleh (oknum) nakal terhadap para kepala desa/tiyuh. Mereka para kepala desa juga sesungguhnya menjadi korban permainan atas nikmatnya dana desa,” pungkasnya. (*)