Orang lebih mengenalnya dengan istilah, setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan. Ungkapan tersebut, ternyata konon kabarnya memiliki maksud dan tujuan sama bagi pejabat untuk nyengget proyek, mulai di pemerintahan pusat sampai daerah.
Bagi pejabat, membicarakan “setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan” sepertinya mengasyikan. Malah ada seorang teman menukas kesal. Mungkin saja karena sudah kepalang muak dengan tindak tanduk pejabat yang kemaruk.
Terlepas dari apa motivasinya, tapi yang jelas nyanyian teman tadi cukup menarik buat disimak. Meskipun cercauannya bak buruk kicau minta jatah kroto. Karena bisa jadi, teman tadi juga setali tiga uang dengan burung, nyerocos tanpa juntrungan lantaran tidak kebagian jatah proyek atau kecipratan basahnya “setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan”.
Alasan perlu bicara “setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan”, masih menurut teman itu, karena fulusnya untuk disetor lagi ke atasannya. Karena kalau tidak nyetor, ganjarannya jabatan bisa dicopot. Itulah mengapa, para pejabat selalu mengedepankan “setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan” kepada berbagai pihak yang ingin menyengget proyek.
Tapi bukankah semua pejabat itu kalau ditanya berani sumpah telah menjalankan segala sesuatunya sesuai petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Lantas dimana sela munculnya manuver “setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan”?
Seorang teman tadi berbisik; modus! Maksudnya, itu semua cenderung hanya sebuah kamuflase. Karena sesungguhnya semua proses berawal dari kesepakatan “setoran bin uang muka bin sesajen bin kemenyan”. Bahkan, hampir dapat dipastikan proses tender sekali pun -yang katanya berjalan sportif dan transparan- tak luput dari jamahan praktik serupa.
“Memang benar semua proses dijalankan sesuai juklak juknis. Tapi tetap sudah ada ‘pengantin’ yang digadang-gadang untuk jadi pemenang. Siapa yang cocok uang mukanya, dialah yang jadi pengantin”. Ups! Tapi janji jangan bilang-bilang ya!… (*)