KIPRAH.CO.ID– Selain mengundang kontroversi, kebijakan Gubernur Lampung Arinal Djunaidi menghentikan proses pembangunan infrastruktur untuk teropong bintang di Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdurrahman juga dianggap sembrono dan membuang peluang emas.
Demikian diungkapkan anggota Komisi I DPRD Provinsi Lampung, Watoni Noerdin kepada sejumlah wartawan, Selasa (25/2/2020). “Persoalan teropong bintang ada nomenklaturnya dan sudah disahkan. Jadi kalau ngomong dibatalkan, dasar pembatalannya apa?” tuturnya.
Menurut Watoni, penghentian teropong bintang sempat dipertanyakan anggota DPRD dari fraksi Demokrat dalam paripurna saat laporan hasil pemeriksaan BPK RI. “Teman-teman Demokrat bertanya itu masuk akal. Masa pemerintahan saat itu, yang memimpin kader mereka,” imbuhnya.
Harusnya, lanjut dia, gubernur melakukan evaluasi secara komprehensif. Apalagi ada suara dari kementerian bahwa itu merupakan program pemerintah pusat. “Kalau itu program kementerian, pastinya sudah ada komunikasi dengan daerah lewat pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat,” kata Watoni.
Ditinjau dari sisi kemanfaatan, sambungnya, sudah sangat jelas terlihat baik pariwisata maupun edukasi. “Mengenai asas kemanfaatan tentunya pihak ITERA sudah merekomendasikan cocok di sana (Tahura Wan Abdurrahman). Artinya planning jelas,” jelasnya.
Harus diingat, kata dia, Tidak ada flora dan fauna endemik di sana. Karena itu, pemerintah pusat memandang perlu, dan boleh untuk kepentingan dan pemanfaatan pendidikan, pariwisata serta lainnya.
“Makanya saya katakan harus detail. Kalau tidak ada izin, tidak akan ada rekomendasi dari kementerian menunjuk ITERA melaksanakan. Artinya, perlu adanya koordinasi gubernur sebagai perpanjangan tangan pusat dengan kementerian. Apalagi Ibu Sity Nurbaya orang kita (Lampung). Bisa ditanyakan langsung. Jangan jadi polemik. Kami ditanya oleh masyarakat, sesuatu bermanfaat dibatalkan,” ungkap Watoni.
Ia memaparkan, program yang sudah jelas ditunjuk kementerian melalui kerjasama dengan ITERA. Tujuannya buat mendukung edukasi dan pariwisata. “Mendapatkan program itu rebutan, kenapa sekarang Lampung sudah mendapatkan tapi malah ditolak. Ini menjadi persoalan. Makanya perlu ditinjau secara komprehensif. Kalau sudah terpapar bahwa sisi manfaat lebih kecil dari non manfaat boleh dihentikan. Kalau sebaliknya, mesti didukung,” terangnya.
Karena itu, lanjut Watoni, analisis evaluasi komprehensif tersebut perlu juga melibatkan para ahli. Sehingga ditemukan sisi untung dan tidak untungnya seperti apa. Juga perlu ketegasan kementerian kehutanan.
ITERA selaku penerima mandat, harusnya bertahan dengan menunjukan sisi kemanfaatannya dan tidak menyalahi aturan. “ITERA penerima mandat harusnya melakukan manuver, apakah workhsop atau seminar atau diskusi publik. Banyak macam cara, biar jadi terang benderang. ITERA jangan kaku-kaku amat. Harus lebih fair dari dunia pendidikan. Jangan juga malah adem, meneng-meneng wae,” tukasnya. (Tim)