Ketika publik sedang menggunjingkan masalah Pilkada, campur tangan perusahaan tapi minim ketegasan penyelenggara dalam menegakkan aturan, pikiran sebagai manusia awam justru digelayuti pertanyaan apakah sedemikian parahnya ‘permainan’ orang-orang besar yang punya pengaruh dan kekuasaan.
Jika betul demikian, maka semakin menguatkan indikasi beberapa kepala daerah termasuk politikus telah sukses ‘dibeli’ lewat peran pembiayaan saat kontestasi di Pilkada dan Pileg.
Kini masyarakat tinggal membuktikan apakah pejabat publik yang disokong telah memegang teguh janji, atau justru terjebak pada kepentingan yang akhirnya tidak dapat membedakan mana kepentingan publik, pribadi atau golongan.
Menjadi pemimpin yang dapat diteladani memang bukanlah hal yang mudah. Bahkan untuk sekadar menjadi pemimpin pun sebenarnya juga tidak mudah. Namun, karena menjadi pemimpin dapat membawa keuntungan, terutama keuntungan pribadi dan golongan, banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya.
Akibatnya, banyak pemimpin yang cenderung otoriter dan memanfaatkan kekuasaannya untuk memaksa, sehingga jangan pernah berharap adanya penguatan, apalagi keteladanan.
Menemukan pemimpin teladan memang tidak mudah, tapi mereka ada meskipun sedikit jumlahnya. Pemimpin yang jujur biasanya hidup sederhana. Sayangnya, kejujuran pada zaman sekarang menjadi barang langka. Celakanya, yang ada dan seolah telah menjadi hal biasa, justru menganut pola pikir pragmatis “Siapa Memberi Makan, Dia Tuanku!”. (*)