KIPRAH.CO.ID– Masyarakat dan undang-undang menginginkan kepala daerah yang mempunyai integritas dan bersih. Ketika kasus-kasus lama belum kelar, pastinya akan sangat mengganggu roda pemerintahan. Enggak bisa berjalan secara maksimal. Konsentrasi terpecah. Secara figur juga terbebani.
Demikian pandangan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Lampung (Unila), Dedi Hermawan, menyikapi kasus dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan APBD tahun anggaran 2015 lalu, yang kuat dugaan ikut menyeret Arinal Djunaidi saat menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Lampung.
Arinal dilaporkan Masyarakat Transparansi Lampung (MaTaLa) pada tahun 2016 lalu. Perkara ini masih macet di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung, dan belum ke proses hukum berikutnya.
“Meskipun belum inkrah, ada yang memandang terkait saja, sudah menjadi beban. Jadi kendala. Untuk itu, harusnya pihak penegak hukum bekerja cepat, supaya semuanya bisa lega. Masyarakat lega, kepala daerah juga bisa lega. Apapun keputusannya,” kata Dedy, Senin (22/7/2019).
Menurutnya, kasuistis ini secara opini mengganggu. Kinerja kepala daerah juga terganggu. Karena itu, perlu ada kepastian hukum. Kalau tidak segera dibuat keputusan pasti, kemudian masyarakat juga menunggu, pemberitaan juga terus menerus, pastinya mengganggu publik.
“Dari awal sudah jadi preseden buruk secara opini publik, moral, integritas. Dari sisi pencalonan saja sebenarnya sudah mengganggu dari sisi politik. Secara hukum, memang kita punya praduga tak bersalah. Yang kita inginkan, dari mulai pencalonan sampai dia jadi, jangan sampai terbebani lebel-lebel seperti itu,” tegas Dedy.
Sebelumnya diberitakan, meski cenderung lamban, pihak Kejaksaan Tinggi Lampung memastikan kasus dugaan penyimpangan APBD 2015 dan penyalahgunaan wewenang yang ditengarai melibatkan Arinal Djunaidi saat menjabat Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Lampung terus bergulir.
Kajati Lampung, Sartono mengakui jika kasus itu masih berjalan dan ia belum menandatangani Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3). “Kan saya yang tanda tangan, dan sampai dengan saat ini saya belum menandatangani SP3 kasus itu,“ singkatnya saat dikonfirmasi awak media, Senin (22/7/2019).
Berdasarkan perhitungan sementara Tim Penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung terhadap perkara dugaan korupsi Ketua DPD I Golkar itu, ditemukan kerugian negara sebesar Rp480 juta.
Kerugian tersebut timbul dari selisih besaran honor yang diterima beberapa tim yang dibentuk untuk perda dan evaluasi APBD. Namun, kendati telah menghitung kerugian sementara secara internal, penyidik mengaku masih memperdalam unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang terjadi.
“Untuk sementara, kami telah menghitung kerugian Negara secara internal dan telah kami dapat angkanya. Tinggal kami memperdalam unsur tindak pidannya saja,” kata sumber di kejaksaan beberapa waktu lalu.
Jaksa itu juga mengaku, temuan tim penyidik juga telah dilaporkan ke Kajati. “Sudah kami laporkan perkembanganya kepada pimpinan. Kami sedang memperdalamnya,” tegasnya singkat.
Terkait dugaan pelanggaran dalam pembuatan, penerbitan dan pelaksanaan Peraturan Gubernur (Pergub) yang menjadi dasar temuan kerugian, jaksa tersebut enggan berkomentar. Namun ditegaskannya, bahwa keberlakuan pergub tidak dapat berlaku surut. “Ya yang jelas pergub itu tidak berlaku surut. Udah itu saja, saya sakin anda dapat menganalisanya,” tegasnya.
Perkara dugaan korupsi yang dilakukan Arinal Djunaidi saat menjabat Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Lampung mencuat setelah dilaporkan Masyarakat Transparansi Lampung (MaTaLa) beberapa waktu.
Dalam laporanya disebutkan pada tahun 2015, gubernur menetapkan pedoman penyelenggara pemda dalam melaksanakan anggaran yang dituangkan dalam Pergub No 72 tahun 2014 tanggal 29 Desember 2014.
Dalam pergub tersebut, telah diatur besaran honorarium tim. Tapi kemudian tanggal 14 April 2015, pergub tersebut dirubah dengan Pergub No 24 tahun 2015 yang isinya memfasilitasi besaran honor tim raperda, rapergub dan tim evaluasi raperda APBD kab/kota. Keputusan Gubernur No G/59/B.III/HK/2015 tentang penetapan besaran honor dan Keputusan Gubernur No G/292/BX/HK/2015 tentang pembentukan tim, menurut Matala, keduanya bertentangan dengan pasal 1 lampiran IV dan pasal 5 Pergub No 72 tahun 2014.
Kemudian nama Arinal di tahun 2015 juga muncul sebagai tenaga ahli, padahal saat itu dirinya masih menjabat sebagai Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Lampung.
Menurut Akdemisi Unila, Yusdianto, nama Arinal sebagai Pembina ASN tertinggi di Lampung tidak dapat diikutsertakan dalam tenaga ahli. (tim)