Refleksi HPN 2025, Bercermin di Air Keruh

KIPRAH.CO.ID, BENGKULU– Wartawan Ratu Dunia, apa kata wartawan dapat mempengaruhi opini pembaca, jika wartawan memuji dunia akan ikut memuji, jika wartawan mencaci dunia akan ikut membenci. Penggalan syair sebuah lagu Qasidah yang berjudul “Wartawan Ratu Dunia.”

Betapa dahsyatnya dampak dari sebuah pemberitaan. Saking dahsyatnya wartawan mampu mengubah opini dunia tentang suatu perkara. Wartawan mampu membidik sebuah sasaran tembaknya, tentang sebuah opini yang diinginkan sang pembuat berita.

Ujung pena wartawan (baca tulisan). Kadang mengalahkan dahsyatnya ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, yang dampaknya hanya sebatas area sekitar ledakan saja, tetapi berita yang ditulis seorang wartawan apalagi di jaman serba digital sekarang ini, yang mana akses informasi dengan mudahnya untuk didapatkan.

Punya dampak bisa menembus tempat yang paling tinggi sekalipun, karena banyak para pembaca yang mengami tulisan yang berpihak pada kaum rakyat kecil.

Sebaliknya akan banyak pula orang yang akan menghujat, mencaci, memaki, jika tulisan tersebut, berpihak pada penguasa, pemilik modal, dan para penegak hukum, yang semena-mena (dzolim), doanya orang tertindas akan langsung ijabah Sang Pencipta Alam Semesta.Yang ikut mengutuk atas tindakan dan perbuatan dzolim nya.

Dahsyat sekali dampaknya yang ditimbulkan dari sebuah pemberitaan. Maka sudah seyogyanya para jurnalis harus benar-benar selektif dalam memilih ungkapan-ungkapan yang harus disampaikan kepada pembaca, pendengar dan penonton, dengan tujuan apa? dan untuk apa?

Seseorang bisa disebut wartawan, jika dia memiliki dua standar dasar. Kemampuan menulis dan kemampuan bercakap-cakap dengan baik (baca kemampuan membuat berita dan komunikasi yang baik).

Tanpa dua hal diatas belumlah memenuhi syarat seseorang bisa disebut sebagai wartawan atau Jurnalis. Kelayakan seorang jurnalis akan dibuktikan dengan dua hal tersebut. (Syarat dasar yang harus miliki disamping syarat-syarat penting lainnya).

Baru-baru ini viral di media sosial pernyataan seorang Menteri yang menyebut dengan istilah Wartawan dan LSM Bodrex” yang diikuti kalimat menganggu pekerjaan aparat pemerintah desa.

Secara kontekstual pernyataan menteri itu terasa menyesakkan untuk didengar secara umum, karena ungkapan Pak Menteri tendius pada profesi.

Tapi dilain sisi secara tersirat ungkapan Pak Menteri Desa tersebut, akan tergantung sekali dengan objek sudut pandang orang yang mengintepretasikan pernyataannya.

Sepakat dan tidak ada perbedaan pendapat. Wartawan adalah profesi yang suci sama halnya dengan profesi-profesi yang lainnya, sebut saja Polri, TNI, ASN, dan sebagainya yang dilindungi undang-undang sebagai dasar dalam menjalankan tugasnya. Semuanya adalah profesi yang baik dan mulia secara tersurat.

Tapi pada kenyataannya ketika pernyataan itu diucapkan dalam keadaan spontan, orang tanpa sadar akan mengucapkan polisi Bodrex, TNI Bodrex, ASN Bodrex ketika mereka menjumpai salah satu diantaranya telah melakukan kekeliruan atau pelanggaran. (sebuah contoh ungkapan repleksi spontan).

Tapi dari segi kontekstual atau bahasa hukum ini jelas bertentangan, karena apa yang dimaksud dalam ucapan seseorang belumlah tentu sama dengan yang dimaksud dalam kontekstual.

Itulah delimanya antara ucapan berdasarkan kebiasaan dengan konteks yang tertulis. Kadang lebih banyak berbenturannya ketimbang nyambungnya. Sebuah contoh. (Sebutan untuk orang daerah saya, yang merantau ke Jakarta, adalah merantau ke Jawa) dari ungkapan budaya daerah saya, itu sudah tepat dan benar, tetapi pada kenyataannya orang Jakarta berkeberatan untuk disebut orang Jawa).

Padahal sejatinya apa yang kita ucapkan jika kita ukur dari nurani kita yang paling dalam, sebenarnya bukan itu yang kita maksudkan sesungguhnya sebagai penutur.

Interprestasi yang berbeda-beda adalah suatu keniscayaan dalam kemajemukan masyarakat kita, pengaruh karakteristik budaya dari mana kita berasal, sangat berpengaruh sekali dengan dialek yang akan kita ucapkan, baik menurut ungkapan yang diucapkan oleh sebuah budaya daerah, belum tentu baik pula menurut karakteristik budaya dari daerah lainnya.

Kita harus akui jika ungkapan yang dimaksud dalam ucapan Pak Mendes tersebut, istilah bodrex untuk oknum wartawan yang nakal, tentunya itu dapat kita pahami, hal itu terjadi dalam prakteknya dan sudah banyak juga kasusnya yang diproses aparat penegak hukum.

Melihat kenyataan seperti ini, apakah ada jalan terbaiknya. Ya tentu ada. Bebaskan semua kepentingan profesi kita dari kepentingan lainya, apa lagi kepentingan politik terselubung atau kepentingan pragmatis sesaat.

Yang kedua hati-hati sebelum bicara (hemat bicara, bicara seperlunya saja sambungkan dengan logika), apalagi sebagai pejabat publik atau pemangku kepentingan, karena orang bijak selalu beri kita petuah, semakin banyak kita bicara, akan semakin banyak ditemukan salahnya. Hal itu tentu sejalan dengan tuntunan kita, diam itu adalah emas.

Tulisan ini saya beri judul, berkaca di air yang keruh, dengan maksud sedikit sharing (pendapat personal) dalam rangka refleksi HPN ke-79, bahwa kita melihat bayangan didalam air, tapi pandangan kita tidak mampu menembus dengan jelas berupa objek apa banyangan itu, karena cermin yang kita pakai media air yang keruh, hingga kita hanya bisa mengira dan menerka saja (berasumsi). Dengan kata lain mengungkapkan kebenaran haruslah dari sumbernya. (*)

Red/Togi Tusmigo
Kaur Bengkulu (09/02/2025)
Penulis adalah:
Wartawan dan
– Koordinator Daerah Jurnalis Kebangsaan Mahasiswa (JKM BNPT) Provinsi Bengkulu.
– Pengurus Harian DPD SPRI Provinsi Bengkulu
– Sekretaris DPC SPRI Kabupaten Kaur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *