Rabu, 11 April 2018 bertempat di Lamban Yoso, Pekon Serai Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat Lampung, secara aklamasi saya terpilih menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pesisir Barat.
Saat itu, pemegang suara atau anggota biasa jumlahnya lima orang. Setelah melalui berbagai tahapan dan sesuai dengan Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PD PRT) PWI, sayapun didaulat untuk memimpin PWI Pesisir Barat masa bakti 2018-2021.
Kala itu, saya didampingi Yayan Prantoso sebagai Sekretaris dan Eva Gustina sebagai Bendahara. Diperjalanan tiga tahun itu eksistensi PWI Pesisir Barat berkibar.
Eksistensi ditandai beberapa kegiatan, diantaranya pemberian sembako kepada keluarga kurang mampu dan memberikan sedekit rezeki kepada anak yatim-piatu dan fakir miskin.
Selain bantuan sosial, PWI Pesisir Barat juga melakukan kegiatan positif lainnya. Alhasil periode pertama atau tiga tahun kepemimpinan saya bersama pengurus PWI Pesisir Barat berjalan sukses.
Usai periode pertama, kawan-kawan wartawan yang tergabung di PWI kembali menghendaki saya untuk menjadi Ketua PWI Pesisir Barat (dua periode).
Dan setelah melalu proses, lagi dan lagi secara aklamasi saya terpilih dan dikukuhkan memimpin PWI Pesisir Barat periode 2021-2024 di Ball Rom Sartika Guest House, Pekon Serai.
Diperiode kedua ini, saya ditemani Agung Sutrisno sebagai Sekretaris dan Yayan Prantoso sebagai Bendahara. Tahun pertama eksistensi PWI Pesisir Barat berjalan sebagaimana biasa (lancar). Sayang di pertengahan tahun kedua eksistensi PWI Pesisir Barat agak limbung.
Penyebabnya, Ketua PWI Pesisir Barat dianggap tak sejalan alias “membangkang”. Celakanya, karena “membangkang” hampir menyebabkan internal PWI Pesisir Barat terbelah. Ada yang menjauh (jaga jarak) dengan saya, dan ada pula yang tetap bertahan (kompak).
Jaga jarak oleh sebagian pemegang suara atau anggota biasa yang memiliki hak pilih itu, saya maklum adanya. Sejak saat itu eksistensi PWI Pesisir Barat mulai meredup, “terseok-seok”.
Walau meredup, sebagai nakhoda saya berupaya dengan sekuat tenaga agar kapal yang saya bawa tidak karam ke dasar lautan. Meski nyaris karam PWI Pesisir Barat tetap eksis meski hatiku sedikit menangis.
Dari pertengahan tahun kedua hingga sampai dipenghujung kepemimpinanku, PWI Pesisir Barat tetap tertatih-tatih karena aku telah di stempel “pembangkang”.
Akibat stempel itu, kantor PWI Pesisir Barat yang telah dianggarkan pada 2022 dengan nilai Rp 400 juta lebih oleh pemerintah daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Pesisir Barat dibatalkan pembangunnya.
Akibatnya, saya yang sedikit lelah melobi kepala dinas pekerjaan umum untuk menggolkan pembangunan kantor PWI Pesisir Barat hanya terdiam dan gigit jari. Padahal lahan untuk kantor PWI itu telah saya ukur bersama pegawai dan konsultan Dinas Pekerjaan Umum Pesisir Barat.
Mirisnya lagi entah benar entah tidak, “Selama Agustiawan masih menjadi Ketua PWI Pesisir Barat jangan harap kantor PWI Pesisir Barat dibangun”. Mendengar ungkapan itu saya menyimpulkan sangat benar saya dicap “pembangkang”.
Padahal di forum rapat PWI Pesisir Barat karena saya dianggap “pembangkang” saya telah berulangkali mengucapkan permohonan maaf melalui anggota PWI yang saya anggap dekat dengan pemegang kebijakan. Sayangnya permohonan maafku dianggap angin lalu.
Walau demikian, saya tetap bangga, meski semacam “diazab” periode kedua saya memimpin PWI Pesisir Barat yang berakhir pada 3 Juli 2024 dapat saya tuntaskan.
Ya, memimpin PWI Pesisir Barat dua periode atau enam tahun lamanya begitu cepat dan tak terasa. (*)
Penulis Ketua PWI Pesisir Barat 2018-2024.